“bahkan aku tahu bagaimana caramu menatap wajahnya”. Nadia menggodaku dengan nada yang sedikit terdengar mencemooh—ya aku kira begitu. “dan setiap kali kita berpapasan dengannya dikelas ataupun dikantin, kamu tampak mengalihkan pandanganmu darinya padahal aku tahu dari kejauhan kamu sering menatapnya, dan sedikit terlihat seperti ‘aku mohon zal katakan padaku bahwa kamu sangat menginginkanku menjadi pacarmu’ benar begitu?” dia terkekeh.
“sudah
hentikan! Sungguh aku tak ada perasaan sedikitpun kepadanya”. Suaraku terdengar
kikuk saat mengatakannya, “kecuali hanya perasaan sebagai seorang teman”
tambahku.
Aku begitu
takut saat Nadia mengatakan itu, bagaimana ia tahu? Selama ini aku tidak pernah
menunjukkan atau tingkah yang terlihat aneh kepada Rizal. Ya, Rizal Prasetyo.
Seorang gila sepak bola dengan acmilan-nya, juga tanpa rokoknya atau keahlian
fisika-nya. Aku juga tak mengerti bagaimana bisa seorang perempuan seperti aku
ini bisa menyukinya selama hampir 3 tahun.
Tepatnya
saat kelas 10 dipeminatan kelompok ilmu sosial, aku tak bisa menyebutnya
sebagai “cinta pandangan pertama” karena saat aku melihatnya, aku hanya melihat
sesosok lelaki pendiam, jarang bergaul, atau lebih sering aku kaitkan dengan
sebutan “si dingin tanpa ekspresi”. Ya, memang—tak hanya jarang bergaul,
ekspresi wajah yang datar serta mimik muka yang sulit aku tebak membuatnya
semakin tak menarik.
Semuanya
berawal saat aku duduk dibangku dengan sebuah novel kesayanganku Secret Garden, aku tak menyadari ada
sepasang mata yang sedari tadi memperhatikanku. Segera aku memicingkan mata dan
ujung mataku seperti berkata dia adalah
Rizal, “tapi apa maksudnya menatapku
seperti itu?” dalam hati aku bergumam. Kulakukan hal bodoh yang tidak akan
pernah aku lupakan, yaitu menatapnya kembali. Kena kau! Pikirku dalam hati, dia tak sempat mengalihkan
pandangannya ketika aku kembali menatap matanya. Hingga akhirnya—kita beradu
pandang.
Tadinya aku
akan menertawakannya, tapi tidak saat aku benar-benar melihat matanya. Mata
indah berwarna cokelat dan bulu matanya panjang melengkung sangat indah untuk
ukuran mata cowok. Hatiku seketika bergetar, canggung dan badanku sedikit
terasa gugup. Apa ini? Aku bagaikan
melihat malaikat disiang bolong dan seperti mendapatkan sayapnya yang lebar dan
panjang untuk membawaku terbang bersamanya dan aku telihat sangat
bodoh—saat itu. aku berfikir bahwa diriku merasa seperti lebay penuh dengan drama, dan terlalu “pede”.
Sejak saat
itulah aku tidak berani berbicara atau sekedar bertegur sapa dengannya. Karena
aku yakin jika aku berbicara dengannya kemungkinan besar aku akan mengalami (a)
salah tingkah/berbicara (b) topik pembicaraan akan tidak nyambung sekali dan
(c) ucapanku akan sedikit terdengar bergetar dan gugup. Aku tidak akan
menyalahkan keyakinanku itu, karena memang sudah aku tunjukkan kebenarannya
dengan sebuah survei. Ya, survei-ku
membuktikan semuanya itu benar adanya dan akan mendapatkan nilai 100 atau A+
jika seorang guru memberi nilai.
Terlalu
optimis jika point (c) lah yang benar-benar sering terjadi. Bahkan suatu ketika
dia bertanya kepadaku begini “Salsa, aku boleh lihat tugas PR Geografi yang kemarin?”. spontan aku menjawab dengan gugup “boleh” lalu aku menyodorkan buku tulis Biologi ku padanya. Dia pun menatap heran.
Dan sekali lagi sejak saat itulah aku mencari tahu banyak tentangnya, seperti tentang acmilan-nya. Aku sering membuka sosial media sebelum mematikan lampu kamar dan tidur dimalam hari, biasanya aku akan menelusuri kesehariannya pada hari itu. seperti suatu ketika aku membuka salah satu akun pribadinya yang menyatakan bahwa futsal adalah belahan jiwanya dan acmilan adalah hidup keduanya. Terdengar berlebihan dan itu memang hanya kata kiasan dariku untuknya.
Atau suatu
hari aku membaca diakun pribadinya bahwa dia menyatakan “suatu hari orang yang
meremehkan saya akan menyesali perbuatannya itu”. bijak! Pikirku, dan sedikit bergurau aku menulis diakun pribadiku
dengan kalimat “kamu terlalu bagus untuk diremehkan”. Aku hanya bergurau, tak
berharap dia membacanya atau bahkan dia menyadari tulisan itu untuknya. Awalan
itulah yang memulai aku untuk terus melihat kesehariannya melalui sosial media
sebelum aku menarik selimut dan bermimpi indah bersama dengannya.
Tapi semuanya aku rasa sia-sia. Tepatnya 2 bulan lalu, saat aku duduk didepan bangku kelas. Aku mendengar sahabatnya, Yudha. Menggoda Rizal dengan sangat serius dan sangat menyakitkan hatiku saat Yudha berkata ‘kau harus mentraktirku, sebagai imbalan aku yang memperkenalkan dan membuatmu menjadi pacarnya’. Kulihat Rizal hanya tersenyum, dan menaikkan alisnya tanda bahwa dia setuju. Aku tak pernah melihat Rizal sebahagia itu. senyumya, selama kurang lebih 3 tahun ini aku sering memperhatikannya tak pernah ia menyunggingkan senyum yang begitu indah, tulus dan sangat bahagia.
Malam tiba,
saatnya aku mencari tahu siapa bidadari yang mendapatkan hati malaikatku itu.
dan pada akhirnya, aku menemukan nama Ranisa diakun pribadinya. Tepat 2 menit
yang lalu Ranisa mengucapkan selamat malam dengan romantisnya di akun
pribadinya Rizal. Kenapa aku sebodoh ini? Itu adalah Ranisa, murid di kelompok
peminatan ilmu alam. Ia terkenal dengan kecerdasannya, penemuan-penemuan
spektakulernya dan juga—kecantikannya. Pantas saja Rizal terlihat sangat
menikmati hidupnya bersama kekasihnya yang begitu—sempurna itu.
Dan harusnya
aku menyadari itu saat Rizal dan Ranisa sering berinteraksi di akun pribadi mereka 3 bulan yang lalu, sebelum mereka pacaran. Sungguh hatiku sangat hancur. Hingga
akhirnya mengagumi dalam diam itu membuatku sangat terlihat bodoh karena harus
memendam perasaan selama bertahun-tahun pada lelaki yang justru mencintai
oranglain. Cinta pertamaku—ternyata hanya sebatas mengagumi dalam diam.