Senin, 29 Desember 2014

Mengagumi Dalam Diam


“bahkan aku tahu bagaimana caramu menatap wajahnya”. Nadia menggodaku dengan nada yang sedikit terdengar mencemooh—ya aku kira begitu. “dan setiap kali kita berpapasan dengannya dikelas ataupun dikantin, kamu tampak mengalihkan pandanganmu darinya padahal aku tahu dari kejauhan kamu sering menatapnya, dan sedikit terlihat seperti ‘aku mohon zal katakan padaku bahwa kamu sangat menginginkanku menjadi pacarmu’ benar begitu?” dia terkekeh.
“sudah hentikan! Sungguh aku tak ada perasaan sedikitpun kepadanya”. Suaraku terdengar kikuk saat mengatakannya, “kecuali hanya perasaan sebagai seorang teman” tambahku.
Aku begitu takut saat Nadia mengatakan itu, bagaimana ia tahu? Selama ini aku tidak pernah menunjukkan atau tingkah yang terlihat aneh kepada Rizal. Ya, Rizal Prasetyo. Seorang gila sepak bola dengan acmilan-nya, juga tanpa rokoknya atau keahlian fisika-nya. Aku juga tak mengerti bagaimana bisa seorang perempuan seperti aku ini bisa menyukinya selama hampir 3 tahun.
Tepatnya saat kelas 10 dipeminatan kelompok ilmu sosial, aku tak bisa menyebutnya sebagai “cinta pandangan pertama” karena saat aku melihatnya, aku hanya melihat sesosok lelaki pendiam, jarang bergaul, atau lebih sering aku kaitkan dengan sebutan “si dingin tanpa ekspresi”. Ya, memang—tak hanya jarang bergaul, ekspresi wajah yang datar serta mimik muka yang sulit aku tebak membuatnya semakin tak menarik. 

Semuanya berawal saat aku duduk dibangku dengan sebuah novel kesayanganku Secret Garden, aku tak menyadari ada sepasang mata yang sedari tadi memperhatikanku. Segera aku memicingkan mata dan ujung mataku  seperti berkata dia adalah Rizal, “tapi apa maksudnya menatapku seperti itu?” dalam hati aku bergumam. Kulakukan hal bodoh yang tidak akan pernah aku lupakan, yaitu menatapnya kembali. Kena kau! Pikirku dalam hati, dia tak sempat mengalihkan pandangannya ketika aku kembali menatap matanya. Hingga akhirnya—kita beradu pandang.
Tadinya aku akan menertawakannya, tapi tidak saat aku benar-benar melihat matanya. Mata indah berwarna cokelat dan bulu matanya panjang melengkung sangat indah untuk ukuran mata cowok. Hatiku seketika bergetar, canggung dan badanku sedikit terasa gugup. Apa ini? Aku bagaikan melihat malaikat disiang bolong dan seperti mendapatkan sayapnya yang lebar dan panjang untuk membawaku terbang bersamanya dan aku telihat sangat bodoh—saat itu. aku berfikir bahwa diriku merasa seperti lebay penuh dengan drama, dan terlalu “pede”.
Sejak saat itulah aku tidak berani berbicara atau sekedar bertegur sapa dengannya. Karena aku yakin jika aku berbicara dengannya kemungkinan besar aku akan mengalami (a) salah tingkah/berbicara (b) topik pembicaraan akan tidak nyambung sekali dan (c) ucapanku akan sedikit terdengar bergetar dan gugup. Aku tidak akan menyalahkan keyakinanku itu, karena memang sudah aku tunjukkan kebenarannya dengan sebuah survei. Ya, survei-ku membuktikan semuanya itu benar adanya dan akan mendapatkan nilai 100 atau A+ jika seorang guru memberi nilai.
Terlalu optimis jika point (c) lah yang benar-benar sering terjadi. Bahkan suatu ketika dia bertanya kepadaku begini “Salsa, aku boleh lihat tugas PR Geografi yang kemarin?”. spontan aku menjawab dengan gugup “boleh” lalu aku menyodorkan buku tulis Biologi ku padanya. Dia pun menatap heran.


Dan sekali lagi sejak saat itulah aku mencari tahu banyak tentangnya, seperti tentang acmilan-nya. Aku sering membuka sosial media sebelum mematikan lampu kamar dan tidur dimalam hari, biasanya aku akan menelusuri kesehariannya pada hari itu. seperti suatu ketika aku membuka salah satu akun pribadinya yang menyatakan bahwa futsal adalah belahan jiwanya dan acmilan adalah hidup keduanya. Terdengar berlebihan dan itu memang hanya kata kiasan dariku untuknya.
Atau suatu hari aku membaca diakun pribadinya bahwa dia menyatakan “suatu hari orang yang meremehkan saya akan menyesali perbuatannya itu”. bijak! Pikirku, dan sedikit bergurau aku menulis diakun pribadiku dengan kalimat “kamu terlalu bagus untuk diremehkan”. Aku hanya bergurau, tak berharap dia membacanya atau bahkan dia menyadari tulisan itu untuknya. Awalan itulah yang memulai aku untuk terus melihat kesehariannya melalui sosial media sebelum aku menarik selimut dan bermimpi indah bersama dengannya.


Tapi semuanya aku rasa sia-sia. Tepatnya 2 bulan lalu, saat aku duduk didepan bangku kelas. Aku mendengar sahabatnya, Yudha. Menggoda Rizal dengan sangat serius dan sangat menyakitkan hatiku saat Yudha berkata ‘kau harus mentraktirku, sebagai imbalan aku yang memperkenalkan dan membuatmu menjadi pacarnya’. Kulihat Rizal hanya tersenyum, dan menaikkan alisnya tanda bahwa dia setuju. Aku tak pernah melihat Rizal sebahagia itu. senyumya, selama kurang lebih 3 tahun ini aku sering memperhatikannya tak pernah ia menyunggingkan senyum yang begitu indah, tulus dan sangat bahagia.
Malam tiba, saatnya aku mencari tahu siapa bidadari yang mendapatkan hati malaikatku itu. dan pada akhirnya, aku menemukan nama Ranisa diakun pribadinya. Tepat 2 menit yang lalu Ranisa mengucapkan selamat malam dengan romantisnya di akun pribadinya Rizal. Kenapa aku sebodoh ini? Itu adalah Ranisa, murid di kelompok peminatan ilmu alam. Ia terkenal dengan kecerdasannya, penemuan-penemuan spektakulernya dan juga—kecantikannya. Pantas saja Rizal terlihat sangat menikmati hidupnya bersama kekasihnya yang begitu—sempurna itu.
Dan harusnya aku menyadari itu saat Rizal dan Ranisa sering berinteraksi di akun pribadi mereka 3 bulan yang lalu, sebelum mereka pacaran. Sungguh hatiku sangat hancur. Hingga akhirnya mengagumi dalam diam itu membuatku sangat terlihat bodoh karena harus memendam perasaan selama bertahun-tahun pada lelaki yang justru mencintai oranglain. Cinta pertamaku—ternyata hanya sebatas mengagumi dalam diam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar