Langkahku terhenti setelah melihat tempat ini. Ah hatiku
terasa tercabik-cabik, meratapi betapa sedihnya menjadi aku. Fikiranku pun
kembali terbayang akan kenangan masa laluku itu, ya ditempat ini.. ditempat
sekarang yang berada didepan pandanganku saat ini. “Rahayu”, seseorang
memanggil namaku dari arah belakang aku berdiri, bayanganku terhadap kenangan
itu pun seketika hilang, dan berganti dengan sesosok perempuan yang kulihat
setengah berlari menghampiri ku.
Senyum yang ia berikan merupakan
semangat hidupku setiap hari. Bagaikan baterai yang mengisi kekuatan remot tv,
begitu kiranya.
“dipanggil dari tadi kok tidak
menyahut?” orangtua setengah baya itu memulai percakapan.
Aku hanya memberikan senyuman
padanya.
“kamu terlihat pucat hari ini” ucapnya.
“benarkah?”
“hmm.. itu saja?”
Aku tak menjawab pertanyaan nya.
“Rahayu, kamu selalu terlihat pucat setiap
hari. Dan jawabanmu pasti seperti itu.
‘benarkah?’ apa kamu tidak menyadarinya? Dan harus kutambahkan lagi, kali ini kamu
terlihat lebih pucat dari hari-hari sebelumnya.”
Aku segera menunduk, kurasa ada
butiran-butiran air yang menetes dari mataku. Pipiku basah, air mata ini belum
juga mengering.
---
Petir serta angin kencang terus
bersahutan, seolah-olah mereka bersahabat. seringkali petir memunculkan kilatan
cahaya sesaat yang menyilaukan. belum lagi angin kencang yang terus menyebar ke
seluruh tempat, bergemuruh tanpa henti-hentinya. Malam ini disertai hujan
lebat, hujan nampaknya sangat tak bersahabat. aliran debit air terus menerus turun
dengan derasnya.
Pukul 21.57 guncangan terjadi, saat
terlelap dalam mimpi tubuh ini ikut terguncang. Aku terbangun, ketakutan.
Menyadari apa yang terjadi, aku segera berlari
keluar kamar mencari ibu dan ayah. Guncangan ini semakin kencang hingga
akhirnya.. “Brukk”, dikeremangan gelap kulihat tembok dapur rumahku roboh. Aku kira ini hanya
gempa bumi. Aku semakin takut,
mondar-mandir berlari mencari ibu dan
ayah ke kamar mereka. Namun apa yang kulihat? Kamar mereka penuh dengan tanah.
Aku semakin histeris. Kemana ayah dan ibuku?
Segera kubalikkan badan, setengah
berlari mencari adik kembarku ke kamarnya. Pintu kamar mereka terbuka. Kulihat
mereka sedang berlindung dekat lemari. Mereka ketakutan, kudekap keduanya
kedalam pelukanku.
Aku bingung dan sangat panik, kucari
lagi kedua orangtua ku ke semua sudut ruangan. Tidak ada, aku kembali mencari
mereka ke kamarnya. Hingga akhirnya aku melihat sebuah tangan yang keluar dari
timbunan tanah, ditangannya itu melingkar sebuah gelang. Aku mengenal gelang
itu, gelang murah yang kubeli bersama ibu dipasar loak. Aku histeris,
menjerit-jerit hingga akhirnya terhuyung dilantai yang kini dipenuhi dengan
tanah. Kedua adikku memelukku dengan erat.
Aku mendengar benda jatuh. Seperti
suara pohon beringin tua dibelakang rumahku mau roboh. Benda yang sangat besar
itu tumbang keatap rumahku, segera aku tersadar. Aku harus segera berlari
keluar bersama kedua adikku.
Tapi takdir berkata lain. Aku tak
ingat apa-apa setelah itu. yang aku tahu hanya sikembar menangis disampingku,
dan seketika pandanganku mulai kabur, gelap, semakin gelap, hingga akhirnya aku
tak sadar.---
Kukira aku sedang berada dialam kubur
dan siap ditanyai oleh malaikat penjaga kubur tentang amal-amalku. Tapi, ah. Aku
sedang didalam ruangan bercat putih, lampu neon yang terpasang diatasnya
menyilaukan mata. Kucoba untuk menengokkan kepala ini ke samping kanan dan
kiri. Tidak ada siapa-siapa. Tiba-tiba hati ini bergetar dengan kencang
kemudian aku mengingat kejadian dimalam itu. air mata mulai merembes ke
permukaan pipiku. aku kembali teringat, bagaimana sekarang kondisi ibu dan
ayahku? Juga sikembar. Bagaimana keadaan mereka sekarang, dan dimana mereka
sekarang? Aku mencoba terus
mengingat-ingat kejadian yang terakhir kali aku alami, berulang-ulang kali aku
mencoba terus mengingat, tapi kepala ini justru terasa pusing, aku mencoba
untuk kuat. Tapi pandanganku kembali
kabur, dan gelap. Aku pingsan.
Kulihat senyuman bibi Evi disana. Dia
sangat bahagia melihatku, melihatku sadar dari koma 4 hari, lebih tepatnya
lagi. Kualihkan pandanganku, disana ada kedua adik kembarku menatapku dengan
tersenyum, wajah yang manis, seolah-olah mereka tidak mengalami kejadian
apa-apa dimalam itu. Semua perasaan campur aduk diruangan itu. senang, sedih,
trauma semuanya ada.
“jangan dulu banyak bergerak,
kepalamu agak sensitive sayang” bibi Evi mengatakannya dengan ramah, penuh
kasih sayang. Dia mengelus-elus kepalaku.
“aku ingin duduk” Ucapku tergagap.
“belum boleh nak”
“aku ingin duduk” aku mengucapkannya kembali.
Bibi Evi tertunduk sejenak, tak lama
kemudian dia membopongku untuk duduk. Selimut yang ada diatas tubuhku terbuka
sedikit saat bibi Evi mencoba membopongku untuk duduk. Aku terkejut, sangat
terkejut.
---
“Rahayu sayang, Kamu dilarang untuk
berdiri terlalu laman nak, bibi dan kedua adikmu sebentar lagi akan berziarah
ke makam ibu dan ayahmu. Jangan terus larut dalam kesedihan, ayo nak ganti
pakaianmu. Sepuluh menit lagi kita berangkat”.
Aku menyeka air mata yang ada
dipipiku. Aku mengangguk.
Kuayunkan tongkat kayu yang ada
dikedua tangan. Bibi Evi mengawasiku menggunakan tongkat itu karena takut nanti
aku terpeleset dan jatuh. Kejadian tanah longsor dua tahun yang lalu itu
membuatku begini, membuat aku kehilangan kaki kananku.
"Saat itu aku mencoba berlari keluar sambil menggendong kedua adikku,
tumbangnya pohon beringin tua itu membuat lemari diruang tamu satu-satunya
jalan untuk keluar bergetar, jatuh lalu mengenai kaki kananku. Aku terus
meronta-ronta, ku amankan kedua adikku disampingku. Mereka menangis."