Kamis, 01 Januari 2015

Peta Kehidupan



Malam ini hujan mengguyur kota Sukabumi. Kali ini aku harus sedikit cepat melangkahkan kakiku agar cepat sampai ke rumah. Aku kira ini hari keberuntunganku karena aku mendapat nilai UTS tertinggi disekolah. Aku tak bisa berbuat banyak saat aku harus ketempat les dua kali dalam sehari. Belum lagi dengan hobby membacaku, bisa satu sampai dua jam aku menghabiskan waktu ditoko buku atau perpustakaan kota. dan bukan suatu keberuntungan juga kalau aku bisa mendapatkan nilai yang maksimal, karena persiapan ku juga tak kalah maksimalnya.
“Aku pulang”. Ku buka pintu rumah, sepi. Kulihat jam yang menempel ditanganku. “jam 20.45” aku bergumam.
Kurobohkan tubuhku keatas kasur. Mengingat-ingat kejadian di hari ini, segera aku beranjak dan mengambil sebuah amplop putih yang kusimpan didalam tas yang kupakai tadi. “ibu dan ayah pasti senang melihatnya” ucapku dalam hati.
Kuketuk pintu kamar orangtua ku. Tak ada yang menyahut. Kali ini aku harus menunggu kepulangan orangtua ku. Tapi kurasa bukan kali ini saja aku menunggu. Mungkin lebih tepat lagi-lagi. Ya, lagi-lagi aku harus menunggu mereka pulang diruang tamu. Dengan posisi yang mengecewakan aku duduk, dan akhirnya tertidur.



“Husna sayang, ayo bangun. Sekarang kamu harus sekolah bukan?” suara yang sangat kukenal membangunkan tidur nyenyakku.
Aku tersenyum.
Suasana pagi ini cerah. Tidak seperti malam tadi, penuh dengan tetesan air dari langit. Kulihat ibu dan ayah sudah duduk dimeja makan untuk sarapan, mereka sudah mengenakan pakaian rapi. tanda siap untuk bekerja hari ini. Kusapa keduanya sembari tersenyum. “selamat pagi”.
“bagaimana dengan hasil UTSmu nak?” ayahku membalas senyumanku. Tapi kulihat wajahnya tak secerah langit dipagi ini.
“baik” kujawab penuh dengan riang. “Tapi” belum lagi aku sempat berbicara, ibu sudah menyanggahnya.
“ibu sudah lihat, ibu sangat bangga padamu, pertahankan.” Hanya itu yang ia katakan. Kuletakkan selai stroberi diatas roti tawarku, kuratakan selai tersebut dengan pisau roti secara  perlahan. Aku sudah tahu akan seperti ini jawaban mereka. Ucapku dalam hati.
Kubuka pintu pagar rumah, kuhirup udara pagi yang segar ini dengan penuh penghayatan sebelum benar-benar kaki ini melangkah pergi ke sekolah. Baru satu langkah kaki ini berjalan, kudengar ibu dan ayah bercengkerama. Mereka bertengkar.



“yaa ayyuhaa alladziina aamanuu ista'iinuu bialshshabri waalshshalaati inna allaaha ma'a alshshaabiriina”. Lantunan ayat suci al-qur’an yang sangat merdu dan fasih kudengar sayup-sayup ditelinga. Tiba-tiba hatiku merasa bergetar, pikiranku yang sedari tadi memikirkan kejadian tadi pagi dirumah, ibu dan ayah bertengkar. Kini pikiranku fokus pada suara itu. suara orang mengaji. semakin aku melangkah kedepan suara itu semakin menjauh dari pendengaranku. Siapa pagi-pagi begini sudah mengaji di masjid sekolah?



Dikelas kulihat Fitri sedang duduk dibangku sembari membaca buku diatas mejanya. “selamat pagi”. Ujarku pada teman sebangku ku itu.
“pagi sahabatku” jawabnya tanpa memandang kehadiranku yang kini sudah berada disampingnya.
“Sepertinya pak Yusup akan membuat hari yang cerah ini menjadi berubah dengan sedikit sentuhan variasi darinya” aku mencoba sedikit bergurau pada Fitri.
“Itu pasti. Bagaimana dengan jawaban kedua orangtua mu perihal nilai UTSmu itu? ada perkembangan dengan jawaban mereka?” ucapnya terlihat sangat serius. Kali ini Fitri menutup buku yang sedang dibacanya. Lalu matanya yang indah itu menatap wajahku lekat-lekat.
“kurasa kamu sudah tahu bagaimana seharusnya yang akan terjadi”. Aku menunduk.
“sabarlah, kurasa waktu yang sangat tepat mungkin akan merubah segalanya”.
“kuharap begitu”.
Pak Yusup datang dengan setumpuk buku paket biologi tebalnya. Pelajaran hari ini dimulai.

“ulaa-ika 'alayhim shalawaatun min rabbihim warahmatun waulaa-ika humu almuhtaduuna”. Kali ini aku mendengar suara orang mengaji lagi. “kau mendengarnya?”.
“tentu, kamu penasaran?” Fitri balik bertanya padaku.
Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan penasaranku pada Fitri. “ya, ajak aku untuk bertemu dengan orang yang sering kudengar mengaji itu”.
Kulihat Fatimah sedang membaca wahyu Allah yang sangat mulia itu. hatiku kali ini bergetar dengan cepat, lebih cepat dan sangat cepat dari biasanya. Hingga akhirnya mataku terasa panas dan mengeluarkan butiran-butiran air yang merembes kepermukaan pipiku.
Aku menangis. Fitri menatapku dengan heran. Fatimah masih membaca Al-Qur’an dengan tartilnya dan tidak menyadari akan kehadiran kami berdua. Hingga akhirnya “Assalamualaikum”. Ucapan Fatimah memecah keheningan disekitar, senyuman yang tersungging dibibirnya membuat hatiku terasa tenang dan penuh dengan kedamaian.
“ajarkan aku membaca al-qur’an”. suaraku terdengar parau.
Fatimah masih tersenyum. “kamu sudah berwudhu?”
“belum, haruskah?”
Fatimah seketika mengernyitkan keningnya. Fitri dengan sigap menarik tanganku. Kami berdua meninggalkan Fatimah di masjid sekolah.
Kukira Fitri akan mengajakku ke kelas dan mempersiapkan materi pelajaran yang akan dipelajari oleh guru mata pelajaran setelah istirahat ini, seperti biasa yang sudah sering kita lakukan bersama. Tapi tidak. Fitri mengajakku ke tempat wudhu ‘Akhwat’.  Selesai berwudhu kami kembali ke masjid menemui Fatimah. Kulihat kini ia sudah mengenakan mukena dan sedang menengadahkan kedua tangannya. Tak lama kemudian ia melirik kami berdua tepat disamping tempat ia berdoa.
“kamu sholat?” tanyaku penuh tanda tanya.
Fatimah tersenyum. Kukira ia berkata ‘iya’.
“sholat? Sholat apa yang kamu kerjakan diwaktu pukul 09.30 seperti ini? Kukira bukan sholat zuhur apalagi sholat shubuh”. Aku kembali bertanya kepada Fatimah
“sholat Dhuha” suaranya sangat lembut ditelingaku. Juga tak kalah lembut dengan senyumannya yang kulihat.
“sholat Dhuha?” aku tergagap.



Fatimah adalah siswa kelas sebelas disekolah ini. Sejak itulah aku sering mampir ke masjid sebelum masuk kelas saat pagi dan istirahat. Disela-sela belajar membaca Al-Qur’an dengan Fatimah, aku juga banyak bertanya tentang agama Islam padanya. Ia selalu menjawab pertanyaanku dengan mantap tanpa keraguan pada ucapannya. Ketika sampai akhirnya aku menceritakan kondisi keluargaku. Kondisi aku yang sering menunggu kepulangan mereka sampai larut malam diruang tamu, atau pertengkaran kedua orangtua ku yang sering kudengar saat pagi. Semuanya aku ceritakan pada Fatimah. Aku yakin Fatimah orang yang sangat dapat kupercaya. Karenanya aku tak malu untuk mencurahkan unek-unek yang sudah kutampung selama bertahun-tahun lamanya tanpa ada orang yang mengetahui. Termasuk Fitri sekalipun.
Fatimah sedikit menenangkan ku dengan surah Al-Baqarah yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat; sesung-guhnya Allah adalah beserta  orang-orang yang sabar.”
Sekarang Fatimah juga sudah tahu mengapa aku terlihat sangat bodoh ketika ditanya wudhu ketika harus membaca Al-Qur’an. Atau sholat Dhuha yang kutanyakan dahulu. aku terlahir dalam keluarga berkecukupan. Kedua orangtuaku bekerja. Setiap hari mereka menghabiskan waktunya ditempat kerjanya masing-masing. Berangkat pagi dan pulang larut malam. Sebagai putri tunggal mereka, aku harus bisa melanjutkan perusahaan yang mereka rintis.
Saat beranjak remaja aku tidak diterima disekolah menengah pertama favorit dikota kelahiranku ini. hingga akhirnya aku dimasukkan oleh orangtua ku disekolah swasta berbasis agama non Muslim. Dengan konsekuensi yang sudah kudapatkan, aku juga harus les dua kali dalam sehari. Dan pulang malam setiap harinya.
Saat ini aku bersekolah di sekolah menengah atas. Dua tahun sudah aku bersekolah disini. Dan dua tahun inilah masa-masa keemasanku dapat mengenal agama Islam lebih jauh, berkat Fatimah.

“ulaa-ika 'alayhim shalawaatun min rabbihim warahmatun waulaa-ika humu almuhtaduuna” . “Mereka itu, akan dikurniakan atas mereka anugerah-anugerah dari Tuhan mereka dan rahmat, dan mereka itulah orang-orang yang akan mendapat petunjuk.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar