Malam ini hujan mengguyur kota Sukabumi. Kali ini aku harus
sedikit cepat melangkahkan kakiku agar cepat sampai ke rumah. Aku kira ini hari
keberuntunganku karena aku mendapat nilai UTS tertinggi disekolah. Aku tak bisa
berbuat banyak saat aku harus ketempat les dua kali dalam sehari. Belum lagi
dengan hobby membacaku, bisa satu sampai dua jam aku menghabiskan waktu ditoko
buku atau perpustakaan kota. dan bukan suatu keberuntungan juga kalau aku bisa
mendapatkan nilai yang maksimal, karena persiapan ku juga tak kalah
maksimalnya.
“Aku pulang”. Ku buka pintu rumah, sepi. Kulihat jam yang
menempel ditanganku. “jam 20.45” aku bergumam.
Kurobohkan tubuhku keatas kasur. Mengingat-ingat kejadian di
hari ini, segera aku beranjak dan mengambil sebuah amplop putih yang kusimpan
didalam tas yang kupakai tadi. “ibu dan ayah pasti senang melihatnya” ucapku
dalam hati.
Kuketuk pintu kamar orangtua ku. Tak ada yang menyahut. Kali
ini aku harus menunggu kepulangan orangtua ku. Tapi kurasa bukan kali ini saja
aku menunggu. Mungkin lebih tepat lagi-lagi. Ya, lagi-lagi aku harus menunggu
mereka pulang diruang tamu. Dengan posisi yang mengecewakan aku duduk, dan
akhirnya tertidur.
“Husna sayang, ayo bangun. Sekarang kamu harus sekolah
bukan?” suara yang sangat kukenal membangunkan tidur nyenyakku.
Aku tersenyum.
Suasana pagi ini cerah. Tidak seperti malam tadi, penuh
dengan tetesan air dari langit. Kulihat ibu dan ayah sudah duduk dimeja makan
untuk sarapan, mereka sudah mengenakan pakaian rapi. tanda siap untuk bekerja
hari ini. Kusapa keduanya sembari tersenyum. “selamat pagi”.
“bagaimana dengan hasil UTSmu nak?” ayahku membalas
senyumanku. Tapi kulihat wajahnya tak secerah langit dipagi ini.
“baik” kujawab penuh dengan riang. “Tapi” belum lagi aku
sempat berbicara, ibu sudah menyanggahnya.
“ibu sudah lihat, ibu sangat bangga padamu, pertahankan.”
Hanya itu yang ia katakan. Kuletakkan selai stroberi diatas roti tawarku,
kuratakan selai tersebut dengan pisau roti secara perlahan. Aku sudah tahu akan seperti ini
jawaban mereka. Ucapku dalam hati.
Kubuka pintu pagar rumah, kuhirup udara pagi yang segar ini
dengan penuh penghayatan sebelum benar-benar kaki ini melangkah pergi ke
sekolah. Baru satu langkah kaki ini berjalan, kudengar ibu dan ayah
bercengkerama. Mereka bertengkar.
“yaa ayyuhaa alladziina aamanuu ista'iinuu bialshshabri
waalshshalaati inna allaaha ma'a alshshaabiriina”. Lantunan ayat suci al-qur’an
yang sangat merdu dan fasih kudengar sayup-sayup ditelinga. Tiba-tiba hatiku
merasa bergetar, pikiranku yang sedari tadi memikirkan kejadian tadi pagi
dirumah, ibu dan ayah bertengkar. Kini pikiranku fokus pada suara itu. suara
orang mengaji. semakin aku melangkah kedepan suara itu semakin menjauh dari
pendengaranku. Siapa pagi-pagi begini sudah mengaji di masjid sekolah?
Dikelas kulihat Fitri sedang duduk dibangku sembari membaca
buku diatas mejanya. “selamat pagi”. Ujarku pada teman sebangku ku itu.
“pagi sahabatku” jawabnya tanpa memandang kehadiranku yang
kini sudah berada disampingnya.
“Sepertinya pak Yusup akan membuat hari yang cerah ini
menjadi berubah dengan sedikit sentuhan variasi darinya” aku mencoba sedikit
bergurau pada Fitri.
“Itu pasti. Bagaimana dengan jawaban kedua orangtua mu
perihal nilai UTSmu itu? ada perkembangan dengan jawaban mereka?” ucapnya
terlihat sangat serius. Kali ini Fitri menutup buku yang sedang dibacanya. Lalu
matanya yang indah itu menatap wajahku lekat-lekat.
“kurasa kamu sudah tahu bagaimana seharusnya yang akan
terjadi”. Aku menunduk.
“sabarlah, kurasa waktu yang sangat tepat mungkin akan
merubah segalanya”.
“kuharap begitu”.
Pak Yusup datang dengan setumpuk buku paket biologi
tebalnya. Pelajaran hari ini dimulai.
“ulaa-ika 'alayhim shalawaatun min rabbihim warahmatun
waulaa-ika humu almuhtaduuna”. Kali ini aku mendengar suara orang mengaji lagi.
“kau mendengarnya?”.
“tentu, kamu penasaran?” Fitri balik bertanya padaku.
Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan penasaranku pada
Fitri. “ya, ajak aku untuk bertemu dengan orang yang sering kudengar mengaji
itu”.
Kulihat Fatimah sedang membaca wahyu Allah yang sangat mulia
itu. hatiku kali ini bergetar dengan cepat, lebih cepat dan sangat cepat dari biasanya.
Hingga akhirnya mataku terasa panas dan mengeluarkan butiran-butiran air yang
merembes kepermukaan pipiku.
Aku menangis. Fitri menatapku dengan heran. Fatimah masih
membaca Al-Qur’an dengan tartilnya dan tidak menyadari akan kehadiran kami
berdua. Hingga akhirnya “Assalamualaikum”. Ucapan Fatimah memecah keheningan
disekitar, senyuman yang tersungging dibibirnya membuat hatiku terasa tenang
dan penuh dengan kedamaian.
“ajarkan aku membaca al-qur’an”. suaraku terdengar parau.
Fatimah masih tersenyum. “kamu sudah berwudhu?”
“belum, haruskah?”
Fatimah seketika mengernyitkan keningnya. Fitri dengan sigap
menarik tanganku. Kami berdua meninggalkan Fatimah di masjid sekolah.
Kukira Fitri akan mengajakku ke kelas dan mempersiapkan
materi pelajaran yang akan dipelajari oleh guru mata pelajaran setelah
istirahat ini, seperti biasa yang sudah sering kita lakukan bersama. Tapi
tidak. Fitri mengajakku ke tempat wudhu ‘Akhwat’. Selesai berwudhu kami kembali ke masjid
menemui Fatimah. Kulihat kini ia sudah mengenakan mukena dan sedang
menengadahkan kedua tangannya. Tak lama kemudian ia melirik kami berdua tepat
disamping tempat ia berdoa.
“kamu sholat?” tanyaku penuh tanda tanya.
Fatimah tersenyum. Kukira ia berkata ‘iya’.
“sholat? Sholat apa yang kamu kerjakan diwaktu pukul 09.30
seperti ini? Kukira bukan sholat zuhur apalagi sholat shubuh”. Aku kembali
bertanya kepada Fatimah
“sholat Dhuha” suaranya sangat lembut ditelingaku. Juga tak
kalah lembut dengan senyumannya yang kulihat.
“sholat Dhuha?” aku tergagap.
Fatimah adalah siswa kelas sebelas disekolah ini. Sejak
itulah aku sering mampir ke masjid sebelum masuk kelas saat pagi dan istirahat.
Disela-sela belajar membaca Al-Qur’an dengan Fatimah, aku juga banyak bertanya
tentang agama Islam padanya. Ia selalu menjawab pertanyaanku dengan mantap
tanpa keraguan pada ucapannya. Ketika sampai akhirnya aku menceritakan kondisi
keluargaku. Kondisi aku yang sering menunggu kepulangan mereka sampai larut
malam diruang tamu, atau pertengkaran kedua orangtua ku yang sering kudengar
saat pagi. Semuanya aku ceritakan pada Fatimah. Aku yakin Fatimah orang yang
sangat dapat kupercaya. Karenanya aku tak malu untuk mencurahkan unek-unek yang
sudah kutampung selama bertahun-tahun lamanya tanpa ada orang yang mengetahui.
Termasuk Fitri sekalipun.
Fatimah sedikit menenangkan ku dengan surah Al-Baqarah yang
artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan dengan sabar dan
shalat; sesung-guhnya Allah adalah beserta
orang-orang yang sabar.”
Sekarang Fatimah juga sudah tahu mengapa aku terlihat sangat
bodoh ketika ditanya wudhu ketika harus membaca Al-Qur’an. Atau sholat Dhuha
yang kutanyakan dahulu. aku terlahir dalam keluarga berkecukupan. Kedua
orangtuaku bekerja. Setiap hari mereka menghabiskan waktunya ditempat kerjanya
masing-masing. Berangkat pagi dan pulang larut malam. Sebagai putri tunggal
mereka, aku harus bisa melanjutkan perusahaan yang mereka rintis.
Saat beranjak remaja aku tidak diterima disekolah menengah
pertama favorit dikota kelahiranku ini. hingga akhirnya aku dimasukkan oleh
orangtua ku disekolah swasta berbasis agama non Muslim. Dengan konsekuensi yang
sudah kudapatkan, aku juga harus les dua kali dalam sehari. Dan pulang malam
setiap harinya.
Saat ini aku bersekolah di sekolah menengah atas. Dua tahun
sudah aku bersekolah disini. Dan dua tahun inilah masa-masa keemasanku dapat
mengenal agama Islam lebih jauh, berkat Fatimah.
“ulaa-ika 'alayhim shalawaatun min rabbihim warahmatun
waulaa-ika humu almuhtaduuna” . “Mereka itu, akan dikurniakan atas
mereka anugerah-anugerah dari Tuhan mereka dan rahmat, dan mereka itulah
orang-orang yang akan mendapat petunjuk.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar