Jumat, 02 Januari 2015

Rahmat atau Musibah?


Langkahku terhenti setelah melihat tempat ini. Ah hatiku terasa tercabik-cabik, meratapi betapa sedihnya menjadi aku. Fikiranku pun kembali terbayang akan kenangan masa laluku itu, ya ditempat ini.. ditempat sekarang yang berada didepan pandanganku saat ini. “Rahayu”, seseorang memanggil namaku dari arah belakang aku berdiri, bayanganku terhadap kenangan itu pun seketika hilang, dan berganti dengan sesosok perempuan yang kulihat setengah berlari menghampiri ku.
Senyum yang ia berikan merupakan semangat hidupku setiap hari. Bagaikan baterai yang mengisi kekuatan remot tv, begitu kiranya.


“dipanggil dari tadi kok tidak menyahut?” orangtua setengah baya itu memulai percakapan.
Aku hanya memberikan senyuman padanya.
“kamu terlihat pucat hari ini” ucapnya.
“benarkah?”
“hmm.. itu saja?”
Aku tak menjawab pertanyaan nya.
 “Rahayu, kamu selalu terlihat pucat setiap hari. Dan jawabanmu  pasti seperti itu. ‘benarkah?’ apa kamu tidak menyadarinya? Dan harus kutambahkan lagi, kali ini kamu terlihat lebih pucat dari hari-hari sebelumnya.”
Aku segera menunduk, kurasa ada butiran-butiran air yang menetes dari mataku. Pipiku basah, air mata ini belum juga mengering.


---


Petir serta angin kencang terus bersahutan, seolah-olah mereka bersahabat. seringkali petir memunculkan kilatan cahaya sesaat yang menyilaukan. belum lagi angin kencang yang terus menyebar ke seluruh tempat, bergemuruh tanpa henti-hentinya. Malam ini disertai hujan lebat, hujan nampaknya sangat tak bersahabat. aliran debit air terus menerus turun dengan derasnya.

Pukul 21.57 guncangan terjadi, saat terlelap dalam mimpi tubuh ini ikut terguncang. Aku terbangun, ketakutan. Menyadari apa yang terjadi,  aku segera berlari keluar kamar mencari ibu dan ayah. Guncangan ini semakin kencang hingga akhirnya.. “Brukk”, dikeremangan gelap kulihat  tembok dapur rumahku roboh. Aku kira ini hanya gempa bumi.  Aku semakin takut, mondar-mandir  berlari mencari ibu dan ayah ke kamar mereka. Namun apa yang kulihat? Kamar mereka penuh dengan tanah. Aku semakin histeris. Kemana ayah dan ibuku?

Segera kubalikkan badan, setengah berlari mencari adik kembarku ke kamarnya. Pintu kamar mereka terbuka. Kulihat mereka sedang berlindung dekat lemari. Mereka ketakutan, kudekap keduanya kedalam pelukanku.
Aku bingung dan sangat panik, kucari lagi kedua orangtua ku ke semua sudut ruangan. Tidak ada, aku kembali mencari mereka ke kamarnya. Hingga akhirnya aku melihat sebuah tangan yang keluar dari timbunan tanah, ditangannya itu melingkar sebuah gelang. Aku mengenal gelang itu, gelang murah yang kubeli bersama ibu dipasar loak. Aku histeris, menjerit-jerit hingga akhirnya terhuyung dilantai yang kini dipenuhi dengan tanah. Kedua adikku memelukku dengan erat.

Aku mendengar benda jatuh. Seperti suara pohon beringin tua dibelakang rumahku mau roboh. Benda yang sangat besar itu tumbang keatap rumahku, segera aku tersadar. Aku harus segera berlari keluar bersama kedua adikku.
Tapi takdir berkata lain. Aku tak ingat apa-apa setelah itu. yang aku tahu hanya sikembar menangis disampingku, dan seketika pandanganku mulai kabur, gelap, semakin gelap, hingga akhirnya aku tak sadar.


---

Kukira aku sedang berada dialam kubur dan siap ditanyai oleh malaikat penjaga kubur tentang amal-amalku. Tapi, ah. Aku sedang didalam ruangan bercat putih, lampu neon yang terpasang diatasnya menyilaukan mata. Kucoba untuk menengokkan kepala ini ke samping kanan dan kiri. Tidak ada siapa-siapa. Tiba-tiba hati ini bergetar dengan kencang kemudian aku mengingat kejadian dimalam itu. air mata mulai merembes ke permukaan pipiku. aku kembali teringat, bagaimana sekarang kondisi ibu dan ayahku? Juga sikembar. Bagaimana keadaan mereka sekarang, dan dimana mereka sekarang?  Aku mencoba terus mengingat-ingat kejadian yang terakhir kali aku alami, berulang-ulang kali aku mencoba terus mengingat, tapi kepala ini justru terasa pusing, aku mencoba untuk kuat.  Tapi pandanganku kembali kabur, dan gelap. Aku pingsan.



Kulihat senyuman bibi Evi disana. Dia sangat bahagia melihatku, melihatku sadar dari koma 4 hari, lebih tepatnya lagi. Kualihkan pandanganku, disana ada kedua adik kembarku menatapku dengan tersenyum, wajah yang manis, seolah-olah mereka tidak mengalami kejadian apa-apa dimalam itu. Semua perasaan campur aduk diruangan itu. senang, sedih, trauma semuanya ada.

“jangan dulu banyak bergerak, kepalamu agak sensitive sayang” bibi Evi mengatakannya dengan ramah, penuh kasih sayang. Dia mengelus-elus kepalaku.
“aku ingin duduk” Ucapku tergagap.
“belum boleh nak”
“aku ingin duduk” aku mengucapkannya kembali.
Bibi Evi tertunduk sejenak, tak lama kemudian dia membopongku untuk duduk. Selimut yang ada diatas tubuhku terbuka sedikit saat bibi Evi mencoba membopongku untuk duduk. Aku terkejut, sangat terkejut.


---


“Rahayu sayang, Kamu dilarang untuk berdiri terlalu laman nak, bibi dan kedua adikmu sebentar lagi akan berziarah ke makam ibu dan ayahmu. Jangan terus larut dalam kesedihan, ayo nak ganti pakaianmu. Sepuluh menit lagi kita berangkat”.
Aku menyeka air mata yang ada dipipiku. Aku mengangguk.
Kuayunkan tongkat kayu yang ada dikedua tangan. Bibi Evi mengawasiku menggunakan tongkat itu karena takut nanti aku terpeleset dan jatuh. Kejadian tanah longsor dua tahun yang lalu itu membuatku begini, membuat aku kehilangan kaki kananku.


"Saat itu aku mencoba berlari keluar sambil menggendong kedua adikku, tumbangnya pohon beringin tua itu membuat lemari diruang tamu satu-satunya jalan untuk keluar bergetar, jatuh lalu mengenai kaki kananku. Aku terus meronta-ronta, ku amankan kedua adikku disampingku. Mereka menangis."




Tidak ada komentar:

Posting Komentar